Pengembangan Obat dan Vaksin Covid-19 Harus Menempuh Uji Klinis yang Ketat

Aktivitas penelitian di bidang farmasi. (Foto: Kantor Komunikasi Publik Unpad)*

Rilis

Aktivitas penelitian di bidang farmasi. (Foto: Kantor Komunikasi Publik Unpad)*

[unpad.ac.id, 4/8/2020] Hampir setiap negara terdampak pandemi Covid-19. Karena itu pula, peneliti berlomba untuk menemukan anticovid-19 atau obat terapi Covid-19. Namun, penemuan ini harus didukung dengan pengujian yang baik.

Direktur Registrasi Obat Badan POM RI Dr. Lucia Rizka Andalusia menjelaskan, ada satu tahapan yang wajib dilakukan sebelum bisa menemukan obat terapi tersebut. Tahapan tersebut yaitu uji klinis untuk membuktikan bahwa obat tersebut memiliki respons terhadap Covid-19.

(baca juga: Meski Dominasi Pasar Farmasi ASEAN, Ternyata 90% Bahan Baku Farmasi Indonesia Masih Impor)

“Penemuan suatu obat tidak hanya dibuktikan melalui testimoni, tetapi harus ada evidence yang terstruktur. Jika hal tersebut tidak dapat dibuktikan, maka klaim obat tidak bisa dikatakan menyembuhkan,” kata Lucia dalam Seminar Daring “Peranan Apoteker dalam Keberhasilan Terapi Covid-19” yang digelar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Rabu (22/7) lalu, seperti dikutip dari laman Fakultas Farmasi Unpad.

Lucia mengatakan, salah satu hasil uji klinis yang telah dilakukan adalah pada Dexamethasone. Beberapa waktu lalu, Dexamethasone diklaim dapat digunakan untuk terapi Covid-19.

“Setelah melalui uji klinis, Dexamethasone yang digunakan pada pasien mild hingga moderate terbukti memperburuk kondisi,” kata Lucia.

(baca juga: Mengungkap Ragam Obat Tradisional dalam Naskah Sunda Kuno)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri selalu memperbarui informasi seputar kandidat vaksin Covid-19. Saat ini, terdapat 142 kandidat vaksin Covid-19 di dunia. Namun, kata Lucia, WHO lebih mengutamakan 24 kandidat karena sudah mencapai tahap uji klinis.

Salah satu kandidat adalah vaksin yang dikembangkan oleh perusahaan Sinovac Biotech asal Tiongkok. Vaksin ini sudah akan melaksanakan uji klinis fase III di sejumlah negara. Indonesia sendiri termasuk salah satu negara yang akan melaksanakan uji klinis tersebut. Uji klinis dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Unpad bekerja sama dengan PT. Bio Farma.

“Adapun 2 kandidat lain vaksin Covid-19 uji klinis dan transfer teknologi berkolaborasi dengan industri farmasi nasional, yaitu BCHT (Sinopharm) dan Kalbe Farma (Genexine),” kata Lucia.

(baca juga: Potensi Lokal Kuatkan Sektor Farmasi Indonesia)

Guru Besar Fakultas Farmasi Unpad Prof. Dr. Keri Lestari, M.Si., Apt., menjelaskan, uji klinis dilakukan pada terapi farmakologi serta terhadap senyawa yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Hal ini dilakukan mengingat penguatan imunitas tubuh merupakan salah satu prinsip protokol kesehatan Covid-19.

“Hal ini menyebabkan herbal di Indonesia sudah dilakukan uji klinik untuk imunomodulator,” kata Prof. Keri.

Ia mengungkapkan, sejumlah pada Konsorsium Nasional Multicenter Clinical Trial Indonesia, sudah dilakukan uji klinis terhadap obat-obatan yang sudah ada di pasaran. Selain obat-obatan penguat imun, suplemen herbal dan jamu-jamuan juga sudah ada yang dilakukan uji klinis.

“Selain itu, ada potensi dari Quinine Sulfate dibandingkan klorokuin dan hidrosiklorokuin dalam menghambat aktivitas SARS-CoV-2 secara in vitro. Hal ini menjadi keuntungan bagi Indonesia karena ini merupakan bahan alam dari Indonesia. Kemudian di Konsorsium Ikatan Apoteker Indonesia, dilakukan uji klinis pada Soman2, OB Herbal, VipAlbumin, dan TehDia,” kata Prof. Keri.

Seminar daring ini menghadirkan dua pembicara lainnya, yaitu Guru Besar Farmasi Universiti Sains Malaysia Prof. Dr. Syed. Azhar Syed Sulaiman dan Direktur Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan RI Dita Novianti Sugandi Argadireja, Apt., M.M.(arm)*

Share this: